Padalarang, BBPOS – Proyek nasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali melakukan eksekusi lahan untuk pembangunan trase kereta cepat di Kampung Asrama RT 02 RW 02 Desa Campaka Mekar Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat (KBB). Kamis (16/7).
Eksekusi lahan PT Hayako dipaksa untuk segera mengosongkan barang-barang miliknya. Sebab, alat berat sudah siap untuk meruntuhkan bangunan tersebut.
“Prosesnya masih berlangsung, pelaksanaan ini untuk kepentingan umum,” Ujar Panita Pengadilan Negeri Bale Bandung, Dendry Purnama saat ditemui dilokasi.
Dendry mengklaim, pihaknya melakukan proses pembebasan lahan tersebut sesuai prosedur. Namun menurutnya, pemilik lahan masih menolak nilai ganti rugi yang diberikan dan akan melakukan gugatan ke pengadilan.
“Kalo mengajukan keberatan atau gugatan PMH itu silakan nanti mengenai tata cara atau verifikasi pengadaan tanah atau tata cara dalam musyawarah kalo memang ada kesalahan ya silakan untuk mengajukan gugatan PMH,” kata dia.
Sebelum melakukan eksekusi, petugas membacakan keputusan PN Bale Bandung tentang prosedur yang sudah ditetapkan.
Lalu eksekusi ditandai dengan pengerukan material menggunakan alat berat dengan pengawalan penuh ratusan personel gabungan dari Polisi, TNI, dan Satpol-PP.
“Sudah melalui prosedur dengan jalan konsinyasi. Akan tetapi pada saat penawaran yang terkena dampak dari trase Kereta Api Cepat ini, pihak pemilik lahan belum menerima. Dengan alasan konsinyasinya salah. Sehingga uang itu dititipkan di pengadilan. Ya memang kalo ada kesalahan atau keberatan bisa digugat kan ada prosedur hukumnya,” kata dia.
Meski persidangan masih berlangsung, proses pembebasan lahan tetap dilakukan. Disinggung soal itu, Dendry mengatakan, pihaknya berpegang pada UU No 2 tahun 2012, tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
“UU itu kan sudah menjelaskan bahwa terkait dengan ganti rugi pembangunan untuk kepentingan umum,” ucap dia.
Disinggung soal lahan bukan milik PT Hayako, namun milik Hendrew Sastra Husnandar , Dendry menjawab, pihaknya tetap mengacu pada UU no 2 tahun 2012. Dimana dalam hal itu terdapat verifikasi pengadaan yang di dalamnya BPN sebagai panitia penyelenggara dalam panitia pengadaan tanah.
“Tapi kalo pengadaan tanah ini harus tetap dijalankan ya kita berdasarkan Perma no 3 tahun 2016 dan ditetapkan oleh ketua pengadilan jadi harus dilaksanakan,” ucapnya.
Sementara itu, Benny Wullur selaku pengacara dari pihak Hendrew mengatakan, Penetapan PN Bale Bandung Nomor 11/pdt.KONS/2019/PN.Bib, dinilai tidak sesuai dengan legalitas kepemilikan lahan itu.
“PT Hayako tidak punya tanah. PT Hayako itu hanya menumpang atau menyewa di tanah milik Pak Endru (Hendrew Sastra Husnandar). Seharusnya kalau eksekusi mau dilakukan maka seharunya eksekusi itu dilakukan atas nama tanah Pak Endru,” beber Benny.
Dengan menunjukan bukti kepemilikan lahan, Benny mengaku selama proses konsinyasi lahan yang terdampak proyek KCJB tersebut, pihak pemilik lahan tidak pernah diajak musyawarah oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN).
Padahal kata dia, seharusnya pihak pengadilan memberikan kesempatan selama 14 hari untuk menyatakan keberatan.
“Padahal kalau kami diajak musyawarah, ada waktu 14 hari untuk kami mengajukan keberatan dan diberi waktu lagi apabila sudah putus 14 hari lagi untuk melakukan kasasi,” tegas Benny.
Ia mengaku heran, ternyata saat terbit penetapan, konsinyasi malah diberikan pada PT Hayako dan yang dieksekusi juga atas nama PT Hayako. Seharusnya eksekusi itu, atas nama Hendrew Sastra Husnandar. “Ini sudah terjadi salah subjek hukum,” tandasnya.
Ditanya wartawan tentang kemungkinan transaksi antara PT Hayako dengan Hendrew Sastra Husnandar, Benny membantahnya.
“Tidak ada jual beli dengan PT. Hayako sampai hari ini. Tanah ini masih milik Pak Endru dan ini disewa oleh PT Hayako sudah beberapa tahun ke belakang,” ucapnya.