RONGGA, BBPOS- Desa Sukamanah, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat (KBB) diselimuti hamparan hijau tanaman tembakau di musim yang tidak menentu ini.
Memasuki pertengahan Agustus, para petani sudah mulai memetik daun tembakau secara bertahap dari yang paling bawah untuk diolah menjadi tembakau rajangan sebagai bahan baku pembuatan rokok kretek.
Tanaman tembakau dengan varietes mole itu menjadi salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Bandung Barat, dan daerah itu juga sebagi wilayah penghasil tembakau terbesar di Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Luas tanaman tembakau di Kabupaten Bandung Barat tak kurang dari 150 hektar yang terbagi di beberapa wilayah. Namun lebih didominasi di daerah Sindangkerta, Gununghalu, Rongga dan Cipongkor.
Bagi mereka yang mengadalkan roko kretek dengan model dilinting. Tembakau telah menjadi jiwa masyarakat dan harga diri masyarakat wilayah Bandung Barat selatan. Sebab, disana tanaman itu belum tergantikan nilai ekonominya dengan komoditas yang lain.
Bagi mereka, ada semacam keharusan menanam tembakau, hal itu menjadi salah satu budaya turun menurun dari orang terdahulu.
Dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya kondisi pertembakauan masih sama, tidak ada sesuatu yang istimewa yang membuat harga tembakau menjadi semakin mahal, karena tidak ada jaminan harga tahun ini akan lebih baik.
“Tembakau ini warisan dari orang tua, ya dibangkitkan kembali oleh kami-kami ini sebagai generasi milenial sesuai arahan dari Pak Gubernur dan Pak Plt Bupati Bandung Barat,” ujar Ketua Kelompok Tani (Poktan) Waringin, Kecamatan Rongga KBB, Andriana belum lama ini kepada wartawan.
Dalam satu tahun, para petani biasanya memanen tiga kali. Seusai dipanen, tembakau diolah agar menjadi tembakau rajangan kering. Namun, para petani tembakau ini belum memiliki industri atau pasar yang menjanjikan.
“Tembakau yang sudah diolah hanya sebatas untuk pasaran lokal di sekitaran Kecamatan Rongga untuk tujuh desa yaitu, Cibitung, Sukaresmi, Cicadas, Cinengah, Bojong dan Sukamanah. Kalau untuk pasaran di Bandung Barat untuk bakau mole tidak akan cukup karena terkendala cuaca karena kami butuh penjemuran pascapanen,” katanya.
Tak heran kondisi cuaca yang tidak menentu, para petani harus mengalami gagal panen sehingga untuk memenuhi pasar lokal terbatas. “Jadi untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal saja kurang sebetulnya keterbatasan stok,” katanya.
Satu kelompok petani tembakau biasanya hanya bisa menghasilkan 2.500 lempeng tembakau kering siap diapasarkan sehingga tidak bisa memenuhi permintaan pasar lokal.
“Jadi untuk memenuhi kebutuhan pasar itu mengambil barang dari Tanjungsari untuk memenuhi kebutuhan pasar,” ungkapnya.
Para petani menjualnya dari mulai Rp 35 ribu hingga Rp 45 ribu per lembar tembakau kering atau sekitar 2,5 ons tergantung dari kualitas tembakau. “Kalau sudah dikemas di bea cukainya masuknya golongan tis. Jadi terkendala di Bandung Barat ini kami belum bisa mengemas karena masuknya barang kena cukai,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) KBB, Agus Rianto mengatakan, Pemkab Bandung Barat tengah memfasilitas masalah perizinan tersebut.
“Mudah-mudahan saja tahun ini bisa beres terkiat pita cukainya,” katanya.
Agus menuturkan, banyak keuntungan apabila prodak petani sudah mengantongi izin. Jika dijual lempangan Rp40 ribu dari petaninya. Sedangkan jika sudah sampai warung-warung bisa mencapai Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per lempengnya. “Jadi legalitas izin ini yang menjadi kendalanya. Alhamdulilah sekarang sedang proses dan mudah-mudahan tahun ini beres,” pungkasnya.