NGAMPRAH,BBPOS- Kegagalan Kabupaten Bandung Barat (KBB) masuk dalam pemeringkatan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) Nasional Tahun 2024 menjadi tamparan keras bagi tata kelola pemerintahan daerah.
Tidak sekadar absen dalam kompetisi kinerja, kondisi ini memperlihatkan krisis kepemimpinan, lemahnya sistem birokrasi, dan buruknya manajemen pembangunan berbasis rakyat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.2.1.7-2109 Tahun 2025, Kementerian Dalam Negeri resmi merilis hasil evaluasi kinerja pemerintah daerah melalui skema EPPD. Kota Bandung mencatat skor tertinggi di kawasan Bandung Raya dengan capaian 3,4351 (kategori tinggi), disusul Kabupaten Bandung (2,8202) dan Kota Cimahi (2,7868), keduanya berada dalam kategori sedang.
Namun, Kabupaten Bandung Barat tidak termasuk dalam daftar tersebut. Hal ini disebabkan status kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, sehingga evaluasi terhadap kinerja pemerintahannya tidak dilakukan.
“Ini bukan hanya persoalan teknis administrasi. Gagalnya Bandung Barat masuk dalam evaluasi nasional adalah indikasi adanya persoalan serius dalam tata kelola dan kepemimpinan daerah,” Ujar Holid Nurjamil, peneliti dari Pusat Kajian Politik, Ekonomi, dan Pembangunan, dalam wawancara dengan redaksi.
Menurutnya, ketidakhadiran dalam pemeringkatan nasional adalah preseden buruk bagi akuntabilitas publik. “Bagaimana mungkin daerah bisa bicara pelayanan dan reformasi jika evaluasi kinerjanya sendiri absen? Ini jelas kegagalan menyeluruh, bukan sekadar kelemahan teknis,” tegasnya.
Regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan evaluasi ini antara lain: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; Permendagri Nomor 18 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Ia juga menyoroti bahwa momentum ini seharusnya menjadi ujian nyata bagi kepemimpinan bupati dan wakil bupati terpilih. “Sudah waktunya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pejabat struktural, termasuk assesment kinerja, pemangkasan jabatan tidak efektif, serta percepatan reformasi birokrasi,” katanya.
Absennya kepala daerah dalam agenda strategis pembangunan daerah juga dipertanyakan. Saat daerah justru sedang butuh kepemimpinan aktif dan kehadiran langsung dalam mengawal reformasi.
Kondisi yang menimpa Bandung Barat menjadi refleksi menyeluruh atas kegagalan perencanaan, pengawasan, dan komitmen terhadap pelayanan publik. Tanpa perbaikan struktural dan keberanian politik untuk melakukan pembenahan, daerah ini berpotensi terus tertinggal dalam banyak aspek pembangunan.
“Evaluasi publik ini harus dijadikan momentum perombakan. Jangan sampai birokrasi justru menjadi penghambat, bukan penggerak perubahan. Kepemimpinan itu hadir bukan untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi untuk menjawab harapan rakyat,” pungkasnya.