Ada seorang ahli bangunan, ia sangat mahir ketika membangun sebuah rumah, karyanya banyak dikagumi oleh orang lain termasuk oleh bosnya. Bertahun-tahun ia bekerja, suatu hari timbullah rasa jenuh dan akhirnya ia ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya yang sudah lama ia geluti.
Ia pun menemui bosnya untuk menyampaikan keinginan keluar dari pekerjaan. Saat bertemu dengan bos, ia mengutarakan hal tersebut. Mendengar apa yang disampaikan oleh karyawannya, tentu perasaan seorang bos sangat terkejut karena yang ada di depannya apalagi berkeinginan untuk keluar dari perusahaannya adalah seorang pekerja terbaik dan ia kagumi karena keuletan dari sebuah karya besarnya.
Bosnya pun tidak bisa menahan keinginan dari pekerja yang ia kagumi, namun ia mengajukan satu permintaan kepada pegawai tersebut untuk membuatkan sebuah rumah yang akan ia berikan kepada sosok yang ia kagumi. Karena, pegawai tersebut sangat ingin berhenti dari pekerjaannya, ia pun menyanggupi permintaan bosnya.
Esok harinya, ia memulai mengerjakan permintaan bosnya membuat sebuah rumah, ia mengerjakan tidak seperti yang biasa dilakukan ketika membuat rumah, ia mengerjakan dengan terburu-buru karena ingin segera selesai dan berhenti dari pekerjaannya.
Akhirnya dalam hitungan hari, ia pun menyelesaikan rumah tersebut dengan waktu relatif cepat dan segera menemui bosnya.
“Pak, saya sudah selesai mengerjakan rumah yang Bapak minta”, sahutnya. “Oh Bapak sudah menyelesaikan tugas dari saya dengan cepat”, jawab bosnya.
“Karena saya sudah menyelesaikan tugas dari Bapak, saya pamit dari perusahaan Bapak”, sahut pegawai tersebut.
“Baik kalau itu keinginan Bapak, saya izinkan Bapak untuk keluar dari perusahaan ini, namun karena saya pernah mengatakan kepada Bapak bahwa rumah yang Bapak bangun akan saya berikan kepada seseorang yang saya kagumi, seorang pegawai yang telah turut serta membesarkan perusahaan ini, kunci rumah itu untuk Bapak”, tegas bosnya sambil menepuk bahu karyawannya.
Cerita di atas merupakan cerita yang bersifat fiksi akan tetapi mengandung pesan moral yang dapat kita petik terkait dengan menghadirkan ketulusan dalam bahasa agama Islam keikhlasan ketika kita melakukan sebuah pekerjaan. Apalagi jika melihat dinamika dalam bekerja, akan mengalami sebuah titik jenuh, namun hal itu bukan berarti kita harus mengurungkan semangat apalagi mengurangi kualitas dalam melakukan sebuah pekerjaan.
Bisa jadi, ada sebuah penyesalan yang dirasakan oleh karyawan tersebut. Seandainya ia tahu bahwa rumah terakhir yang dibangunnya diperuntukkan baginya sebagai hadiah dari bosnya pastinya akan dengan teliti membangun rumah tersebut.
Itulah sebuah gambaran dalam kehidupan yang pastinya setiap kita akan mengalami sebuah pase kejenuhan dalam meniti karier ataupun kegiatan lainnya. Namun, dibalik sebuah cobaan itu, kita harus memiliki tekad bahwa dalam bekerja kita harus memiliki semangat dan loyalitas dalam meniti pekerjaan tersebut.
Kunci dalam meniti sebuah pekerjaan tiada lain yaitu keikhlasan. Bahwa kita bekerja semata-mata beribadah dalam rangka mengharapkan keridaan dari Allah SWT. jika kita bekerja hanya mengharapkan penilaian atau pun pujian dari orang lain, maka standar pekerjaan yang selalu kita suguhkan adalah penilaian dari orang lain. ketika tidak ada penilaian dari orang lain, maka produktivitas kerja kita akan menurun.
Keikhlasan ini sangat penting, terlebih bagi generasi muda yang memiliki semangat tinggi dalam belajar untuk menggapai cita-cita. Hadratus Syaikh, KH. Hasyim Asy’ari dalam karya tulisnya ‘Adaabul ‘Aalim wal-Muta’allim’ memberikan sepuluh pesan kepada para pelajar dalam menuntut ilmu, salah satunya agar pelajar memperbaiki niat dalam menuntut ilmu semata-mata mengharapkan rida Allah SWT serta mampu mengamalkannya, menghidupkan syari’at, untuk menerangi hati, menghiasi batin dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kemudian dalam menuntut ilmu para pelajar hendaknya tidak bertujuan untuk memperoleh tujuan-tujuan duniawi, misalnya menjadi pimpinan, jabatan, harta benda, mengalahkan teman saingan, biar dihormati masyarakat, dan sebagainya.
Dikutip pada laman republika.co.id, Imam Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik, atau dikenal dengan sebutan Imam Qusyairi (wafat 465 H) dalam kitab tafsirnya memposisikan ikhlas sebagai landasan dari segala ibadah. Menurutnya, tanpa keikhlasan, semua amal ibadah atau amal shaleh tidak bisa diterima oleh Allah, dan hanya menjadi pekerjaan yang tidak membawa manfaat bagi orang yang mengerjakannya.
Imam Qusyairi dalam kitabnya Lathaif al-Isyarat, mengartikan ikhlas sebagai upaya memposisikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dan tulus melakukan segala amal kebaikan hanya untuk Allah SWT. Dengan keikhlasan, semua amal ibadah akan lebih sempurna dan lebih besar kemungkinan untuk diterima oleh-Nya.
Keikhlasan akan mencerminkan sebuah pekerjaan berkualitas karena ia tidak berdasarkan penilaian orang lain namun didasari semata-mata mengharapkan keridaan dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa mengharap rida Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal’aalamiin.
Penulis, Ketum PD PGMNI Kabupaten Bandung Barat, Guru di MTs KPM Sindangkerta, dan Kepala RA An-Najah Gununghalu.