CIHAMPELAS,BBPOS- Keberadaan Kowi atau wadah pelebur emas tak lantas tergerus. Meski zaman semakin maju, para pengrajinnya masih telaten memproduksi Kowi.
Kendati harus bertahan dengan berbagai impitan teknologi semakin canggih. Di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB), ada sebuah desa yang masih menjaga tradisi membuat wadah pelebur emas dari tanah liat sejak setengah abad lalu.
Disebuah rumah sederhana, tepatnya di Kampung Nyalindung RT/RW01, Desa Singajaya, empat pria tampak bekerja, Senin (20/7/2022). Lika-liku tangan dan jari mereka tampak lihai mengukir Kowi.
Sekadar melepas penat, mereka juga bersenda gurau sambil bekerja. Tak terasa satu demi persatu Kowi yang mereka buat selesai dengan hasil yang memuaskan.
Kowi biasa digunakan sebagai wadah pelebur emas. Warga di desa Singajaya Cihampelas ini memang sudah akrab dengan aktivitas pembuatan Kowi yang dimiliki ileh Tuti (57) serta Dasman (75).
Keduanya adalah pasangan suami istri yang sejak menikah hingga saat ini memilih berwirausaha mengolah kerajinan tangan berbahan dasar tanah liat untuk dijadikan wadah pelebur emas.
Sembari tangan dan matanya berkonsentrasi memilah tanah liat, Dasman bercerita, tradisi membuat Kowi ini sudah dibangun sekitar 50 tahun lalu. Sosok yang berjasa untuk mengajarkan ia dalam keterampilan pembuatan Kowi adalah sobat karibnya dari Kota Bandung.
“Terinspirasi dan termotivasi oleh teman dari Bandung, saya coba membuat usaha kecil-kecilan dulu pada waktu itu,” ujar Dasman saat berbincang dengan wartawan BBPOS.
Menariknya, hingga saat ini aktivitas produksi Kowi masih dipertahankan. Bisa dibilang menjadi mata pencaharian sekunder bagi ibu-ibu di kampung ini. Namun demikian, satu persatu dari 16 orang pegawai tak bisa dipertahan.
“Awal rame, tapi karena terkikis oleh zaman dan teknologi yang semakin maju. Peminat Kowi ini semakin berkurang,” ucapnya dengan sendu.
Sejak awal merintis, dalam memproduksi Kowi, Dasman hanya mampu membuat 50-100 wadah pelebur emas. Dan dijual secara dipikul ke Kota Bandung. “Awalnya dipikul menjualnya, itu sejak tahun 1973 masih merintis,” singkat Dasman.
Bertahan demi menjaga tradisi, meski pilu, pada tahun 1985, usaha kedua pasangan tersebut pun mulai menunjukan diwajah pasar. Sedikitnya perbulan, 2000 ribu Kowi dapat dihasilkan. “Perjalannya penuh lika-liku, tapi alhamdulillah jadi bisa berdayakan warga juga,” katanya.
Kala itu, Kowi yang dihasilkan karya tangan warga Desa Singajaya itu ramai peminat. Jakarta dan Tegal menjadi daerah yang paling banyak memesan wadah pelebur emas. Namun selain dikirim, ada juga pembeli yang langsung data ke lokasi pembuatan Kowi.
“Ngirimnya dulu sampai perbatasan Tegal sampai Jakarta, ada juga yang
datang langsung ke pabrik untuk memesan produk yang mereka inginkan,”
Jelasnya.
Menariknya, meskipun saat ini harga per-7 ukuran atau perbijinya dihargai Rp 2000, para pengrajin masih memilih eksis dalam memproduksi Kowi. “Kita masih tetep eksis gini kasian 4 pegawai masih butuh penghasilan untuk keluarganya. Mau tidak mau kita juga harus bertahan dalam kondisi apapun,” jelasnya.
Kecilnya keuntungan yang mereka dapatkan, tidak lantas membuat para pengrajin ini meninggalkan tradisi yang sudah puluhan tahun dilestarikan. Mereka mengakui bahwa keuntungan yang didapatkan kecil dan tidak seberapa.
“Belum pernah ada yang mau menyuntikan dana, bantuan dari pemerintah pun saya belum pernah dapat. Kecil keuntungan mau bagaimana lagi, kepingin saya itu. Pemda Bandung Barat bisa memberikan modal usaha kepada kami. Kami bertahan untuk warga yang tidak bekerja,” pungkasnya.