CILILIN, BBPOS— Dikenal dengan rasanya yang manis, bentuknya yang kecil, membuat kita akan mengingat pada sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung Barat (KBB), yaitu Cililin.
Wajit Cililin sendiri dipelopori oleh seorang perempuan yang bernama Siti Romlah, menjadikan Cililin sebagai kota wajit.
Wajit Cililin ini berbahan dasar ketan, lalu dicampur dengan gula aren serta kelapa. Dibungkus dengan daun jagung yang menjadi ciri khas dari wajit itu sendiri. Tapi, di beberapa tempat wajit dibungkus dengan kertas, daun pisang, dan lainnya.
Sejak terkenalnya Wajit Cililin di kalangan pendatang, menjadikannya oleh-oleh yang wajib saat berkunjung ke Cililin. Meski pun, saat ini digempur dengan banyaknya jenis makan dari luar, tidak menjadikan eksistensi Wajit Cililin ini hilang begitu saja. Warisan resep dan cara membuatnya yang dilakukan secara turun temurun membuat rasanya tidak berubah.
Sejumlah pembeli terlihat sedang mengantre di depan toko milik seorang laki-laki berkisar umur 40 tahunan. Dia terlihat begitu ramah dan cekatan saat melayani para pembeli itu, dia melayaninya dengan sepenuh hati.
Syamsul (44), merupakan alumni Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran, cicit dari pendiri Wajit Asli Cap Potret Haji Siti Romlah. Lalu, saya mencoba mengobrol dengan Pak Syamsul mengenai bagaimana awal mula adanya makanan khas cililin ini setelah saya mengenalkan diri saya.
“Sejak dulu warga Cililin selalu kental dengan nama wajit, jadi setiap orang-orang Cililin pergi ke luar selalu ditanya ‘mana wajitna euy?,” kata Syamsul.
Menurutnya, wajit lebih famous dari Cililinnya sendiri, hal itulah yang mengangkat nama Cililin dari produknya Syamsul.
Lalu Syamsul menuturkan bagaimana awal mula Wajit Cililin ini ada.“jadi pertama kali yang bikin wajit di Cililin yaitu Ibu Uti yang dibantu oleh saudara perempuannya, Ibu Juwita,” tutur Syamsul.
Menurutnya Cililin merupakan wilayah agraris, di sini stok beras sangat melimpah bahkan para petani di daerah ini hidup dari hasil menjual beras.
Akan tetapi, satu jenis beras, yaitu beras ketan yang stoknya overload karena yang menjadi konsumsi utama adalah beras biasa bukan beras ketan. Seiring berjalannya waktu ternyata beras ketan semakin menumpuk karena beras ketan dikonsumsi ketika ada acara.
Pada akhirnya Ibu Uti terilhami untuk membuat makanan yang bahan dasarnya beras ketan. Ibu Uti mengolah beras ketan yang dicampur dengan gula aren, gula putih, dan kelapa.
”Oleh Ibu Uti dan Ibu Juwita beras ketan ini diolah dicampur dengan gula aren, gula putih, dan kelapa. Yang mungkin saja jauh di tempat lain pada tahun 1916 makanan ini sudah ada, tapi belum dikenal dengan nama wajit”, jelasnya.
Selanjutnya produk yang di hasilkan oleh dua bersaudara ini mendapatkan respons positif dari warga. “Sebelum 1936,wajit hanya ada ketika ada acara saja seperti pernikahan biasanya dipesan dengan by-order ke Ibu Uti dan Ibu Juwita,” jelasnya.
Pada awalnya masyarakat Cililin yang memesan makanan ini ke Ibu Uti dan Ibu Juwita mereka menyebutnya dengan “ketan digulaan”. Nama wajit hadir ketika ada satu pesta pernikahan yang secara kebetulan di sana ada orang Jawa yang mencicipi makanan ini “di daerah saya ini namanya wajik,” tuturnya.
Di tengah-tengah obrolan kita, tiba-tiba ada pembeli yang menghampiri tokonya. Obrolan pun terpotong. Setalah kembali dari melayani pembeli, Syamsul melanjutkan ceritanya. Dia menuturkan bahwa ada peleburan kata wajik di masyarakat Cililin, sehingga muncullah istilah wajit. “ada pengucapan bahasa yang berbeda, akhirnya istilah wajik berganti menjadi wajit,” jelasnya.
Sebab penjualannya lewat by-order akhirnya wajit pun menyebar luas. Menyebarnya penjualan wajit ini tidak lepas dari bantuan anak Ibu Uti, Ibu Irah. Tentu saja hal ini memicu respons yang kurang baik dari pemerintah kolonial dan juga kaum menak di Cililin. Mereka menganggap bahwa beras ketan merupakan makanan elite yang hanya boleh dimakan oleh kaum bangsawan saja. Hal ini pun menyebabkan Ibu Uti dan Ibu Juwita mendapatkan intimidasi dari pihak kolonial. “Meskipun mendapat intimidasi dan tentangan dari pihak kolonial, Ibu Irah tetap menjual wajit secara sembunyi-sembunyi. Ini bisa disebut sebagai “melawan kolonial dengan budaya,” jelasnya.
“Meskipun wajit makanan khas Cililin, di tempat lain pun ada yang namanya wajit,”imbuhnya.*** (M. Fadillah Arasyid)