CIPONGKOR, BBPOS— Dalam perkembangan zaman yang begitu maju dan pesat, yang mana bisa mengakses segala sesuatu dengan mudah dan cepat. Realitanya, ternyata pada umumnya jarang atau bahkan tidak mengetahui sejarah lokal yang ada di daerah masing – masing. Seperti halnya di Kampung Cipari, lebih tepatnya Cipari Girang, Rt.003/Rw.002 Desa Cijambu, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, terdapat sebuah monumen bersejarah berupa tugu yang berbentuk Bambu runcing dengan diameter 0.5 M dan memiliki ketinggian kurang lebihnya 10 M. Dimana di dalam tugu nya itu terdapat ornamen – ornamen yang mengisahkan tentang kekejaman yang dialami oleh rakyat Cipari pada masa penjajahan oleh bangsa asing terutama Belanda. “Tugu Juang”, itulah sebutan masyarakat setempat pada situs sejarah tersebut.
Siapa sangka keberadaan Tugu Juang ini yang berada di atas sebuah bukit, bernama Bukit Pasir Kentit, yang mana sekarang letaknya tidak jauh dari pemukiman warga setempat. Akan tetapi hal itu tidak membuat masyarakat sadar untuk memperhatikan Tugu Juang tersebut, justru malah acuh tak acuh bahkan seolah – olah tidak diangkap sesuatu yang bernilai sejarah. Mengapa mereka bisa dengan mudah melupakan sejarah, apakah mereka tidak tahu atau tidak mau tahu? Atau bahkan tidak menghargai jasa para pejuang di masa lampau?
Setelah Tugu Juang diresmikan pada tanggal 20 Januari 1984 oleh Bupati Bandung , Pemerintah dengan kekhawatiran dan harapan yang besar, menginginkan masyarakat setempat mampu memahami dan menghargai dengan sepenuh hati betapa berharganya warisan sejarah ini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan rakyat Cipongkor yang telah berjuang dengan gigih. Namun, dalam kenyataannya, masyarakat setempat masih kekurangan pengetahuan yang memadai dan, yang lebih penting, belum tergerak untuk mempertahankan dan merestorasi kembali keaslian warisan gemilang dari daerah mereka sendiri. Meskipun demikian, sesekali terdapat sekelompok individu dalam komunitas terpilih yang dengan setia datang setiap tahunnya untuk membersihkan semak-semak dan rumput liar yang menyerbu wilayah yang terhormat ini.
Perlahan namun pasti, kesadaran masyarakat secara bertahap mulai mempermelekahkan hati mereka, menyadari akan pentingnya pelestarian situs-situs peninggalan bersejarah. Terlihat seringkali, kegiatan pembersihan dilaksanakan di sekitar wilayah tersebut. Tugu Juang menjulang gagah sebagai saksi bisu perjuangan rakyat di Kabupaten Bandung. Tugu yang diresmikan oleh Bapak Sani Lupas Abdurrahman, yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati. Dimana hal ini menjadi simbol semangat perlawanan sebelum wilayah tersebut menjadi Kabupaten Bandung Barat. Dengan mengunjungi Tugu Juang, saya bertekad untuk menggali lebih dalam tentang sejarahnya, mengumpulkan kisah-kisah yang patut kami eksplorasi dan sampaikan kepada seluruh masyarakat.
Mak Ani (89), seorang sosok yang penuh pengetahuan tentang tragedi pembantaian rakyat Cipongkor, dengan bersemangat bercerita mengenai perjuangan yang tak terkira di masa penjajahan Belanda. Di kediaman beliau menceritakan tentang rentetan nama – nama pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan di tanah Cipari ini. Mendengarkan kisahnya saja, terbayang betapa besar pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat Cipongkor demi meraih sebuah kemerdekaan. Jasa mereka harus kita kenang, dan menjadi cermin bagi kita semua untuk introspeksi dan mengevaluasi diri.
Pada saat shubuh tiba, angin bertiup dan membawa kabar kedatangan penjajah Belanda ke kampung Cipari, mengganggu keheningan pagi yang sejuk. Dengan kekerasan, mereka mendatangi masjid yang dipimpin oleh Ajeungan Tamami, seorang Ustadz yang teguh dalam imannya. Setelah melakukan penyelidikan, Belanda berhasil menemukan tempat tinggalnya. Pada saat itu, Ajeungan Tamami baru saja menunaikan salat subuh di dalam masjid. “Pintu diketuk oleh serdadu dengan berulang kali, dan Ustadz Tamami terkejut saat melihat banyak prajurit yang menyerbu dengan senjata mengancam. Tanpa ragu, beliau segera di gusur dan ditembak hingga tewas di hadapan kelompok penjajah Belanda. Bukan hanya beliau saja yang dibunuh, tetapi seluruh anggota keluarganya juga dianiaya dengan kejam.” ujar Mak Ani.
Cerita ini dihiasi dengan detail yang penuh dramatis, menggambarkan kedatangan gerombolan penjajah Belanda di Terminal Cipongkor (kini dikenal sebagai Terminal Cijenduk). Dalam sekejap, mereka menyerang penduduk setempat, bahkan mebunuh tanpa ampun para pahlawan yang berani memberontak itu. “Pada saat fajar mulai menyingsing, gerombolan Belanda itu dengan semangat mencari warga Cipatat yang bersembunyi di Kecamatan Cipongkor, terutama seorang tokoh bernama Pak Abun,” ujar Mak Ani. Meskipun berasal dari Cipatat, takdir yang tragis membuat sang pahlawan menjadi sasaran empuk, memicu perdebatan yang berujung pada pertumpahan darah. Di tengah kekacauan tersebut, Pak Kardi, seorang penduduk setempat, menjadi korban tembakan penjajah, mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Gerombolan penjajah yang tak terbendung itu melanda seluruh rumah di Kampung Cipari (dahulu masih termasuk Kecamatan Cililin) yang terletak di Cipongkor ini. Api yang berkobar menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya, memaksa penduduk untuk berlarian mencari perlindungan. Ada yang bersembunyi di balik rerumputan sawah, memilih bersembunyi di dalam hutan, namun sayangnya takdir berkata lain bagi sebagian dari mereka yang berhasil ditangkap oleh para penjajah dan dibunuh. “Hanya ada dua pahlawan yang diabadikan dalam Tugu Cipongkor, di antaranya Pak Kardi dan Pak Abun. Namun, selain mereka berdua, masih ada banyak pejuang yang berjasa dalam perlawanan ini, meskipun namanya tidak dicatat dalam Tugu Juang Cipari ini,” ujar Mak Ani.
Dari perjuangan hebat para pahlawan melawan penjajah Belanda, cahaya kebijaksanaan menerangi generasi muda. Seperti bintang-bintang yang bersinar, kebijaksanaan itu memancarkan daya tarik bagi kita yang hidup dalam waktu yang berbeda. Setelah menjelajahi sejarah yang rumit, sebagai generasi penerus, kita harus dekat dengan warisan masa lalu. Kita harus melindunginya dengan kasih sayang yang tulus, menjaga setiap jejak peradaban nenek moyang yang masih ada, karena di dalamnya terdapat pengabdian mulia para pahlawan. Namun tidak hanya itu, melalui Tugu Pahlawan yang mengesankan ini, kita akan mengingat betapa pahitnya pertempuran mempertahankan tanah air dari penjajah. Oleh karena itu, kita memiliki tanggung jawab untuk memahami sejarah lokal dengan baik, karena jika bukan kita, siapa lagi yang bisa melakukannya!**(Adi Muhammad Kamil)