Blitar, BBPOS – Kendati sempat mengundang polemik, pelaksanaan solat tarawih di salah satu Pesantren di Blitar, Jawa Timur dinyatakan MUI setempat memenuhi rukun dan syarat solat.
Seperti diketahui pelaksanaan solat tarawih 23 rokaat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam, Desa Mantenan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar tersebut berlangsung tidak lebih dari 10 menit.
Pengasuh pondok KH Dliya’uddin Azzamzammi mengatakan, tradisi salat tarawih cepat di ponpes yang berdiri sejak tahun 1901 oleh Alm KH Abdul Ghofur itu tersebut, sudah berlangsung selama satu abad lebih. Yakni sejak sang kakek menjadi pengasuh ponpes.
“Alasannya, saat itu banyak warga yang enggan ikut salat tarawih karena siangnya bekerja sehingga badannya capek dan penat. Sehingga dengan tarawih cepat ini, membuat para jamaah menjadi tertarik untuk datang ke masjid dan ikut melaksanakan salat tarawih,” kata Dliya’uddin seperti dilansir detikcom, Rabu (8/5).
Meski dilakukan dengan sangat cepat, Dliya’uddin yakin tarawih di Ponpes Mambaul Hikam tidak mengurangi rukun atau syarat salat. Atau keluar dari syariat hukum Islam.
“Karena tuma’ninah dalam sholat adalah, adanya waktu jeda untuk kita melafalkan Subhanallah. Baik secara lisan maupun dalam hati,” tambahnya.
Sementara itu, tarawih kilat tersebut menarik perhatian Kementerian Agama RI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh karena itu, utusan khusus kemudian didatangkan ke ponpes tersebut.
Selanjutnya, setelah melihat dan mempelajari langsung tarawih kilat ini, Kemenag dan MUI menyatakan pelaksanaan salat sunah tersebut tidak menyalahi rukun dan syarat sahnya salat.
“Kami kaji bersama-sama. Kebetulan saya sendiri yang mengantarkan tim khusus dari Jakarta untuk melihat langsung tarawih kilat. Dan memang, itu tidak umum terjadi. Namun tetap sah dan tidak menyalahi kaidah salat,” kata Humas MUI Kabupaten Blitar Jamil Mashadi di kantornya Jalan A Yani Kota Blitar, Kamis (9/5/2019).
Jamil menambahkan, kendati salat tarawih kilat itu terkesan aneh lantaran geraknnya yang cepat dan ritme bacaan solatnya pun sangat cepat. Menurutnya, itu bentuk keberagaman dalam beragama. Islam sebagai rahmatan lil alamin memberikan kesempatan untuk berijtihad.
“Dan salat tarawih kilat itu merupakan ijtihad Kiai Abdul Gofur yang kebetulan mursid tarekat. Salat sebagai bentuk penghambaan, interaksi kita pada Allah mempunyai tempat istimewa di mata para tasawuf. Sehingga beliau memandang salat tarawih sebagai sarana bagaimana kawulo benar-benar mencurahkan lahir bathinnya semata-mata untuk berinteraksi kepada Allah. Gak sempat tolah-toleh istilahnya,” beber Jamil.
Menurut Jamil, di zaman seperti itu salah satu kesalahan umat yakni menjadi juri atas ibadah dan perilaku orang lain. Padahal ketika salat semata-mata karena Allah, sifatnya sangat pribadi.
“Ijtihad itu perlu kita hormati karena pelaksanaannya khusus. Dzuriyah (anak turun) Kiai Abdul Gofur juga tidak mendakwahkan ini ke umum. Namun semata mata nguri-nguri apa yang sudah dirintis pendahulunya. Dan dalam tradisi pondok ini sebuah keharusan,” ujar Jamil lebih lanjut.
Apa yang dipaparkan MUI diakui dirasakan seorang jamaah, Suhari. Baginya, ikut salat tarawih kilat di Ponpes Mambaul Hikam justru membutuhkan persiapan mental tersendiri.
“Alhamdulillah esensinya salat saya bisa menikmati. Memang secara fisik cepat, tapi hati tetap tertata. Makanya kalau mau salat tarawih di sini harus dipersiapkan hati. Saya mau salat cepat. Ya gak usah tolah-toleh sudah,” pungkasnya. Sumber Detikcom (editor Hendra Hidayat)