FENOMENA pelecehan maupun kekerasan pada guru di Indonesia kerap terjadi, entah apa yang mendasari itu semua sehingga sosok tenaga pendidik tidak disegani dan dihormati lagi.
Belum luput dari ingatan kita tentang pelecehan yang dilakukan seorang murid yang menantang guru dikelas beberapa hari terakhir yang viral di media sosial dengan sengaja merokok di dalam kelas, di Kabupaten Gresik.
Beberapa tahun terakhir rentetan pelecehan dankekerasan terus terjadi hingga tak jarang sang guru harus meregang nyawa di tangan muridnya sendiri. Salah satunya adalah Guru SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Ahmad Budi Cahyono yang harus meregang nyawa akibat dianiaya sang murid lantaran menegur murid saat tertidur pada jam pelajaran berlangsung.
Selanjutnya, ada pula siswa Sekolah Dasar yang menantang gurunya berkelahi di ruangan guru saat dinasehati,ada pula peristiwa bullying terhadap guru yang usianya tidak lagi muda, yakni Joko salah satu pengajar di SMK NU 03 Kaliwung, Kabupaten Kendal yang dilakukan oleh keempat siswanya seraya diikuti tertawaan siswa satu kelas.
Beberapa hari berselang kembali beredar video murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) berlokasi di daerah Banjarnegara yang menantang kepala sekolah sampai membuka pakaian dan melontarkan kata-kata kasar.
Ironis memang, dari beberapa rentetan penganiayaan dan pelecehan yang terjadi didunia pendidikan Indonesia terhadap sosok guru merupakan tamparan keras bagi semua orang, baik orang tua,sekolah, pemerhati pendidikan bahkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam menentukan kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia.
Seperti yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Implikasi dari Undang-undang tersebut bahwa,pendidikan disetiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA) harus diselenggarakan secara terprogram dan sistematis mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sementara itu,Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait pendidikan karakter juga didukung oleh Peraturan Presiden (Perpres) No 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang ditanda tangani oleh Presiden RI,Joko Widodo pada tanggal 6 September 2017 lalu (dilansir dari setkab.go.id).
Dalam Perpres tersebut dibahas tentang pentingnya implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) untuk mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai religious, jujur, toleran,disiplin,bekerjakeras,kreatif,mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
Namun demikian, dengan fenomena saat ini yang kita lihat, pendidikan karakter yang dilaksanakan Satuan Pendidikan belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, optimalisasi pendidikan karakter harus lebih ditingkatkan kembali. Betapa tidak, fenomena hari ini, menunjukan adanya “krisisi tata krama dan adab” yang terjadi pada generasi muda Indonesia khususnya kalangan pelajar.
Pendidikan formal berupa pembelajaran terkait keilmuan tidak kalah penting untuk mencerdaskan anak bangsa, namun bila kecerdasan tidak diimbangi dengan karakter yang baik dari seorang anak bangsa,apa yang akan terjadi dengan Indonesia yang sangat kita cintai ini di kemudian hari.
Sudah barang tentu kita sebagai anak bangsa, mempunyai cita-cita yang sama yakni Indonesia yang maju dan mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal tersebut demi tercapainya Indonesia sebagai Negara yang Baldatun Thayyibatun Wa Robbun Ghafur.