Cijamil, BBPOS – Diusianya yang tidak lagi muda, Maman (80) warga asal Kampung Cijamil, Desa Ngamprah, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat ini, tetap menekuni profesinya sebagai pembuat bambu anyam (bilik,red).
Kendati saat ini peminatnya turun drastis kalah saing dengan atap GRC atau dinding yang terbuat dari batu bata, Maman tetap optimis bambu anyam yang ia buat bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diusianya yang memasuki senja.
Tubuhnya yang tidak sekekar dulu terlihat masih mahir menganyam bagian demi bagian bilik menjadi sebuah anyaman bambu berukuran 2×2,5 meter tersebut. Sesekali Maman duduk untuk meregangkan otot pinggang yang sekian lama harus terbungkuk selama menganyam.
Profesi yang ia geluti sejak tahun 1957 atau sekitar 61 tahun tersebut, telah berhasil menghidupi seorang istri dan kedelapan anaknya hingga mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Maman mengisahkan perjuangan hidupnya selama menjadi tukang bilik, ia mengaku berjalan kaki dengan memikul beban bilik sebanyak 5 lembar sampai ke daerah Ciwidey atau Cianjur setiap hari. Hal tersebut ia lakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.
“Abah dulu jalan kaki dengan bawa bilik dipundak masih kuat, kalau sekarang abah nunggu yang datang aja pesen,” katanya kepada BBPOS, Jumat (14/12/2018).

Maman menuturkan, dalam seminggu ia mampu membuat bilik bambu sebanyak 4 sampai 5 lembar dengan harga jual Rp 50 ribu per lembarnya. Ia mengaku dalam sebulan mampu menjual 10 – 15 lembar bilik bahkan tidak satupun dalam satu bulan bilik yang dibuat terjual.
“Sekarang mah penghasilan abah tidak tentu,” katanya seraya berkaca-kaca.
Ia menjelaskan, sempat mempunyai karyawan sampai 17 orang, saat usaha yang ia geluti tersebut berkembang pesat pada tahun 2000an. Dalam sebulan, Maman menjual ratusan lembar bilik yang dipasarkan ke berbagai daerah.
“Dulu pernah dapat pesanan sampai 1000 lembar, jadi abah sempat mempunyai karyawan 17 orang,” katanya mengenang.
Sementara itu, usaha yang ia jalankan tersebut sangat terasa menurun pada kurun waktu 5 tahun terakhir, saat pamor bilik kalah oleh kehadiran atap GRC atau kalah ngetrend dengan dinding dari batubata akibat perkembangan zaman. Namun demikian, ia bersyukur masih ada pesanan bilik dari pengusaha pariwisata atau restorang dengan konsep tradisional. Pasalnya, ia kerap mendapat order dengan jumlah banyak dari para pengusaha tersebut.
“Alhamdulillah masih ada yang pake bilik bambu, biasanya pesanan buat restoran yang menggunakan bangunan tradisional,” jelasnya.
Ia berharap, pasar bilik kembali membaik seperti 10 atau 20 tahun lalu ketika peminatnya masih banyak. Selama ini ia mengaku belum pernah mendapatkan modal usaha dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya, baik dari segi modal maupun pemasaran.
“Saya berharap rame lagi kayak dulu, tapi abah bersyukur masih bisa menikmati rejeki dari usaha ini,” pungkasnya. (DRA)