Ngamprah, BBPOS – Ketenaran kompor sumbu berbahan bakar minyak tanah saat ini tidak lagi seperti dulu.
Betapa tidak, kebijakan pemerintah pada era Presiden dan Wakil Presiden saat itu yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Yusuf Kalla mewajibkan masyarakat mengkonversi (mengganti) penggunaan kompor minyak tanah dengan menggunakan kompor berbahan bakar gas.
Hal tersebut menjadi faktor utama produksi kompor sumbu minyak tanah kian meredup dan nyaris sirna.
Salah satu daerah produsen kompor sumbu di Kabupaten Bandung Barat terletak di Desa Margajaya, Kecamatan Ngamprah.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, sebelumnya di kawasan tersebut mayoritas penduduknya membuka bengkel kompor (sebutan lain untuk home industri kompor sumbu). Namun saat ini tinggal satu orang yang masih menekuni usaha tersebut.
Dialah Kurdi (70), warga asal Desa Margajaya tersebut masih setia menjalankan usaha di bidang kompor sumbu. Walaupun menurut pengakuannya penghasilannya tidak sebanyak dulu.
“Mereka tutup karena masyarakat beralih ke gas. Mulai penjualan menurun,” ucap Kurdi kepada BBPOS beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, usahanya yang dirintis sejak tahun 1975 tersebut mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada masa keemasannya. Dari penghasilan usahanya itu, terkadang para pemesan tidak terlayani semua.
“Dulu mah rame pisan atuh,” Kurdi kembali berkisah.
Di kampungnya, sambung Kurdi, terkenal sebagai pembuat kompor minyak, lebih dari 10 bengkel pembuatan kompor minyak ada di kampungnya. Kini semuanya tutup, hanya dirinya yang masih bertahan.
“Mereka tutup karena masyarakat beralih ke gas. Mulai penjualan menurun,” ucap Kurdi.
Kurdi mengaku sempat berhenti membuat kompor minyak lantaran tidak adanya pasar yang menerima.
Selanjutnya seiring berjalannya waktu, gairah usahanya pun bangkit kembali. Pasalnya, permintaan produk hasilnya kembali ada walaupun tidak banyak.
Kendati pesanannya tidak sebanyak dulu Kurdi tetap bersyukur, karena masih ada yang mau memakai kompor minyak buatannya.
“Ini sudah turun temurun, warisan keluarga. Seminggu bisa membuat dua sampai tiga kodi. Dan, satu bulan biasanya bisa menjual sebanyak tiga sampai empat kodi. Tapi, tidak menentu juga, kadang sepi,” ujarnya.
Disinggung sampai kapan menggeluti bisnis kompor minyak, Kurdi mengaku enggan untuk berpindah profesi. Kompor minyak sudah menjadi saksi hidupnya dan andalan untuk bisa menutupi kebutuhannya. Karena, keahliannya hanya bisa membuat kompor minyak.
Dengan harga berkisar antara Rp 25 ribu hingga Rp 60 ribu, Kurdi mensyukuri pendapatan yang ia terima saat ini. Namun demikian ayah dari dua orang anak tersebut berharap agar pemerintah memperhatikan nasib para pegiat usaha kompor sumbu.
“Alhamdulillah saya syukuri kondisi sekarang, mudah mudahan pemerintah bisa mengangkat kembali pamor minyak sumbu walaupun tidak setenar dulu,” pungkasnya. (Wit)