Bandung, BBPOS – Pengajuan justice collaborator (JC) yang diajukan Bupati Cirebon nonaktif Sunjaya Purwadisastra ditolak JPU KPK. Sunjaya pun dituntut hukuman penjara tujuh tahun.
Hal tersebut diungkapkan JPU KPK, Iskandar Marwanto saat membacakan tuntutan atas kasus dugaan gratifikasi atau jual beli jabatan di Pemkab Cirebon, di Pengadilan Tipikor PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Rabu (24/4/2019).
Iskandar mengatakan, alasan JC yang diajukan Sunjaya ditolak lantaran tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran Mahkamah Agung (SeMA).
“Syaratnya tidak terpenuhi. Selain itu dia juga pelaku utama. Dalam Sema, salah satu syarat penerima JC bukan pelaku utama,” katanya usai persidangan.
Tidak hanya itu, dalil lain yang diajukan terdakwa dengan membuka perkara lain, perlu dikembangkan dan pembuktian. Pasalnya, perkara yang diungkapnya sama sekali belum terbukti, dan belum dilakukan penyelidikan.
“Intinya JC kita tolak lantaran tidak memenuhi syarat. Dia pelaku utama, menerima suap,” ujarnya.
Sementara usai persidangan Sunjaya Sendiri memberikan komentar apapun terkait tuntutan tujuh tahun yang dibacakan JPU KPK. Namun saat ditanya majelis di persidangan, Sunjaya menyerahkan semuanya kepada Alloh sebagai jalan yang terbaik.
“Saya serahkan kepada Alloh jalan yang terbaik,” ujarnya.
Seperti diketahui dalam dakwaannya, JPU KPK Iskandar Marwanto menyatakan terdakwa Sunjaya Purwadisastra selaku Bupati Cirebon bersama-sama sengan Deni Syafrudin di bulan Oktober 2018 di Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Perunahan Rakyat (Dinas PUPR) Kabupaten Cirebon, telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yakni menerima hadiah berupa uang sejumlah Rp100 juta dari Sekdis PUPR Gatot Rachmanto.
“Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat, atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,” katanya.
Selanjutnya, terdakwa dan Deni Syafrudin mengetahui atau patut menduga bahwa pemberian uang tersebut karena terdakwa telah mengangkat dan melantik Gatot Rachmanto sebagai Sekdis PUPR Kabupaten Cirebon. Padahal semua itu bertentangan dengan kewajibannya sebagai bupati Cirebon.
Terdakwa selaku Bupati Kabupaten Cirebon dalam kaitannya dengan manajemen ASN telah menandatangani surat Keputusan Bupati Cirebon Nomor: 821 .2/Kep.974-BKPSDM/2017 tentang Pembentukan Tim Penilai Kinerja Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Cirebon. Tim Penilai Kinerja PNS tersebut bertugas untuk memberikan pertimbangan dalam proses promosi jabatan ASN kepada Bupati.
Terdakwa dalam proses promosi jabatan di Pemerintahan Kabupaten Cirebon telah melakukan sesuatu da|am jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, yakni melakukan intervensi terhadap tugas Tim Penilai Kinerja PNS sehingga tugas dan fungsi Tim Penilai Kinerja PNS hanya formalitas. Dalam promosi jabatan tersebut.
“Terdakwa sering meminta imbalan uang kepada pejabat yang dilantik dengan besaran untuk jabatan setingkat eselon lll A sebesar Rp100 juta. untuk jabatan setingkat eselon III B sebesar Rp50 juta hingga Rp75 juta dan untuk jabatan setingkat eselon IV sebesar Rp25 juta hingga Rp 30 juta,” ujarnya.
Permintaan imbalan uang tersebut juga dilakukan oleh terdakwa ketika mempromosikan Gatot Rachmanti dalam ]abatan Eseton III A sebagai Sekdis PUPR Kabupaten Cirebon. Terdakwa sekita Juli 2018 sebelum menyetujui usulan promosi tersebut telah menanyakan ‘komitmen’ dan ‘loyalitas’ kepada Gatot.
Setelah ada kesanggupan Gatot, pada sekitar akhir Juli 2018 ketika Avip Suherdian menyampaikan usulan Gatot menduduki jabatan Sekdis PUPR, terdakwa langsung menyetujui usulan tersebut dan meminta Avip mengingatkan Gatot perihal imbalan uang untuk terdakwa.
Kemudian, terdakwa pada 3 Oktober 2018 melantik Gatot Rachmanto menjadi Sekdis PUPR Kabupaten Cirebon. Kemudian 17 Oktober 2018, terdakwa menghubungi Avip agar mengingatkan Gatot untuk segera ‘menghadap’ terdakwa.
“Kemudian terdakwa menerima telpon dari Gatot yang menyampaikan keinginannya untuk memberikan uang terkait promosi dirinya. Terdakwa pada saat itu mengatakan ‘nanti yang itu titip ke Deni aja ya ?,” Katanya.
Kemudian terdakwa menyerahkan handphonenya kepada Deni Syafrudin. Selanjutnya Deni yang pada saat itu mendengar perkataan terdakwa langsung memahami maksudnya dan membuat janji untuk pengambilan uang, dan keesokan harinya uang diterima Deni dari Gatot di kantor PUPR Cirebon.
“Saat itu Gatot bilang ke Deni, mas nitip ya ke bapak 100 (Rp 100 juta),” katanya.
Setelah menerima uang dari Gatot. selanjutnya Deni melaksanakan arahan terdakwa untuk mentransfer uang sejumlah Rp250 guna kepenuan sumbangan acara Hari Sumpah Pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Atas perbuatannya terdakwa dijerat pasal 12 huruf b UU No31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama, dan pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana dakwaan kedua. (Ay)